Oleh Faiz Manshur
Ketua Odesa Indonesia
ORGANISASI Nahdlatul Ulama (NU) berusia 100 tahun. Peringatan satu abad ini menjadi perlu dibicarakan, karena warga NU merupakan entitas dari komunitas yang potensial untuk memperbaiki praktik demokrasi politik formal di Indonesia yang mengalami kerusakan.
Kita tahu, kualitas demokrasi di Indonesia rendah. Praktik politik kepartaian di Indonesia masih sebatas menjalankan fungsi kratos (kekuasaan), mengabaikan tujuan untuk memenuhi hak warga (demos). Demokrasi baru berhasil memberikan kebebasan bagi warga untuk memilih saat pemilu. Adapun hak hidup warga mendapatkan kesejahteraan, masih jauh dari harapan.
Komunitas warga negara dari NU menjadi penting karena di dalamnya terdapat jutaan warga. Selain itu, organisasi di bawah pimpinan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tersebut, saat ini sedang gencar memperbaiki model organisasinya yang relevan dengan hak-hak kewarganegaraan.
Pembaharuan yang dilakukan Gus Yahya tepat. Dia meletakkan pelembagaan “hubungan antarmanusia” sebagai prioritas. Selain itu, dia juga punya desain yang apik dengan usaha perbaikan relasional PBNU dengan partai politik, ormas, dan jaringan internasional.
Selama Gus Yahya menakhodai NU, telah banyak yang dilakukan dengan menunjukkan “perilaku keorganisasian yang” dengan ide “koherensi berorganisasi”. Hal itu telah menunjukkan perbedaan dari kepemimpinan sebelumnya. Fakta itu bisa kita rujuk dari dominasi wacana ke-NU-an yang sebelumnya berkutat pada isu radikalisme, berubah ke urusan keorganisasian dan sejumlah isu kewargaan yang lebih konkret.
Baca Juga: Semarak Road To Anniversary 7th PVJ Camport Kijang Cakti Oriq Jaya
Perbaikan keorganisasian itu, misalnya, bisa dilihat dari usaha NU mengarahkan setiap Badan Otonom (Banom) agar bekerja mengedepankan “produksi kebijakan” ketimbang “produksi event”. Mindset baru ini bisa menjadikan NU mampu mengambil peran optimal sebagai lembaga pemberdayaan ketimbang sebagai event-organizer. Akan lebih memberikan kesempatan kepada banyak orang memanfaatkan kesempatan dan memaksimalkan potensinya, ketimbang menjadi sarana aktualisasi para pengurus.
Dengan kata lain, NU saat ini sedang berjalan di jalan inovasi yang sejati karena mengambil kerja “pelembagaan antarmanusia”, bukan memaksimalkan peran teknologi atau bangunan fisik. Secara otomatis sedang mempraktikkan “pemberdayaan diri”, yang berguna untuk mengepakkan dua sayap: “sayap pelayanan” dan “sayap pembangunan”.
Jika merujuk pada imajinasi awal Gus Yahya tentang seharusnya NU seperti pemerintahan negara, maka kehendak yang dimaksud itu sudah laras. Sebab hakikat menjalankan pemerintahan itu mencakup tiga hal, pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development).
Keseriusan yang lain dalam berorganisasi juga ditunjukkan dengan membangun narasi besar tentang hakikat hidup manusia di planet bumi, menghubungkan kekuatan potensial warga NU untuk membangun tatanan hidup bermasyarakat dengan istilah peradaban.
Mengubah mental lunatic
Narasi tentang alam dan manusia menjadi landasan kerja organisasi. Simbol jagat dengan ikatan berbintang sembilan, dimaknai sebagai objektifikasi untuk mengatasi problem alam dan kemanusiaan.
Merawat jagad, kata Gus Yahya, berarti merawat dua dimensi. Pertama, merawat bumi tempat manusia dan segenap spesies menjalani survivalnya. Kedua, merawat makhluk yang menempatinya. Berpijak pada spirit khalifah, Gus Yahya mengajak untuk mengambil peran optimal dengan akal budinya ber-amar ma’ruf nahy munkar secara esensial; yakni mencegah kerusakan alam dan menciptakan manfaat dari idealisasi “surga di bumi.”
Gus Yahya sadar akan potensi manusia, apalagi dari kalangan terdidik di NU yang melimpah jumlahnya. Ini bisa menjadi solusi untuk mengeluarkan banyak orang dari keterkungkungan mental tak percaya diri. Minimal bisa mengubah dari keadaan lemah mentalitas lunatic -seperti burung pungguk merindukan bulan- ke arah mental tangguh menjadi aktor perubahan.
Baca Juga: Stres Sakit Tak Kunjung Sembuh, Kakek Renta di Sumedang Gantung Diri
Maka, untuk mendistribusikan imajinasi itu dibutuhkan ragam cara dan media agar menyebar luas. Beruntung Gus Yahya punya paman, seorang penyair jenius berempati kuat, KH. Ahmad Mustofa Bisri. Beliau mengarang puisi, kemudian menjadikannya lirik dan diolah musisi Tohpati menjadi lagu.
Saya yakin “Theme Song Satu Abad” (Nahdlatul Ulama) “Merawat Jagad Membangun Peradaban” itu akan menemukan tempat di masa kini dan mada mendatang. Liriknya penuh makna dan musiknya bagus, sekaligus pas diterima kaum santri.
Penciptaan lagu ini bagian penting dari keseriusan beroganisasi. Sebab, narasi besar yang dibundel dalam konstruksi rasionalitas, -dalam karya tulis berupa buku misalnya, -tetap tak memberi jaminan diterima banyak orang. Pun pesan lisan seperti pidato atau diskusi. Musik adalah sarana vital menyebarkan “virus akal budi,” kata peneliti Richard Brodies.
Munculnya lagu itu bukan perkara hiburan. Melainkan strategi penting dalam usaha memobilisasi perilaku spesies. Sebagaimana burung punya lagu untuk menuju ke arah tertentu saat berburu biji-bijian. Juga kawanan sapi punya tembang untuk bergerak menyusuri sumber pangan.
Di dalam lagu itu terdapat sejarah dan nilai-nilai serta tugas kontemporer NU. Ada kisah lama hubungan ulama dan pengikutnya. Teks “pemimpin” dan “yang dipimpin”, bukan saja mengambarkan esensi primer tentang relasi makhluk sosial. Melainkan sebagai bukti NU itu memiliki integritas sebagai komunitas masyarakat.
Nilai integritasnya besar, dibuktikan oleh jutaan umat manusia yang loyal dengan beragam alasan rasional atau emosional. Juga merupakan ekspresi relasi pemimpin dan yang dipimpin dalam ruang hegemoni, bukan dominasi. Ini modal dasar bagi gerakan sipil untuk melaju di gerbong pembentukan tatanan yang diimajinasikan (peradaban), bahkan bisa menjadi “pengarah” politik formal negara.
Ada pula teks tentang komitmen ideologis (akidah dan sunnah) dan juga teks tentang objektifikasi (agama, nusa dan bangsa) sebagai penjelas gerak misionaris PBNU dalam menjalankan organisasi. Memberi arah, berorganisasi bukanlah tujuan, melainkan alat. Gus Mus menekankan pentingnya penguatan hasrat melalui tekad, dengan cara sebagai pengabdi yang menyertakan sifat empati terhadap semesta.
Makna lebih luas dari lirik lagu itu adalah, segenap gagasan tentang agama tetap harus didaratkan pada usaha untuk melahirkan kebaikan bersama atau peradaban. Lebih penting lagi, di balik segenap usaha keras manusia harus lepas dari kesombongan.
Dengan kerendahan hati, Gus Mus mengajak semua orang yang berperan dalam lapangan sosial untuk mengutamakan amal dan mengurangi pamrih. Selamat hari lahir NU yang ke 100.***
*CATATAN : Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 atau yang bertepatan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah.
Dengan demikian, versi tahun Masehi NU berusia 97 tahun. Sementara mengacu tahun Hijriyah, pada 1444 H sekarang berusia 100 tahun.
Artikel Terkait
Puncak Perayaan 100 Tahun Nahdlatul Ulama Bakal Diwarnai Peluncuran Gerakan Perempuan NU
Yenny Wahid Sebut NU Women Langkah Progresif NU Sikapi Isu-isu Perempuan
Muslimat NU Solokanjeruk Tingkatkan Sinergi dengan Pemerintah
Yahya Cholil Staquf : Organisasi NU Ini Berfungsi Laksana Pemerintahan
Dihadiri Cucu Pendiri NU, HISNU Peringati Hari Santri, Doakan Indonesia dan Ganjar Pranowo
Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama yang Kini Berusia 97 Tahun